Al-Quranul karim adalah mu’jizat Islam yang kekal
dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan
oleh Allah kepada Rasulullah, Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari
suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang
terang (Mudzakir, 2007: 1).
Agama sebagai realitas sosial di dalamnya tidak
hanya terkandung aspek ajaran yang bersifat normative-doktrinal, melainkan juga
terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta
bangunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya. Dengan
demikian, jika terjadi konflik antar agama, terdapat variabel yang terlibat,
yang satu ikut memperkuat yang lain meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi
kekuatan pencegah. Yaitu doktrin agama untuk saling menghormati sesama manusia
dan misi setiap agama untuk menegakan kedamaian.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada akhir-akhir
ini di berbagai daerah di Indonesia, seperti kasus Situbondo (1998), Madura, dan
yang sampai saat ini masih terus berjegolak seperti kasus Ambon dan lainnya,
pada dasarnya merupakan akibat dari konflik anatar agama yang berbeda.
Masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan
pihak lain salah. Perpsepsi bahwa perbedaan adalah suatu yang buruk, suatu hal
yang menakutkan, sudah begitu rupa mendarah daging dalam jiwa umat-umat
beragama.
Akibat dari perseteruan tersebut adalah kesengsaraan
semua pihak, yang bertikai maupun yang tidak mengetahui apa-apa. Pada dasarnya
akibat dari konflik adalah kerugian yang menyeluruh diberbagai pihak. Rakyat
kecil lagi-lagi menjadi korban dan
harus menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.
Akibat dari adanya perseteruan ataupun kerusuhan di
suatu daerah pada akhirnya merambat ke daerah yang lain, yang masih satu
wilayah maupun diluar wilayah yang berbeda. Memanasnya kondisi di suatu daerah,
seperti adanya konflik antar agama dapat memancing daerah lain dikarenakan
adanya ikatan emosional yang begitu kuat, ikatan sebagai saudara seiman. Hal
serupa pernah terjadi di daerah Mataram, Lombok
(Februari 2000) saat umat Islam melakukan tablig akbar untuk mensikapi kondisi
umat Islam di Ambon yang berakhir dengan kerusuhan berupa pengrusakan
tempat-tempat ibadah dan sarana pendidikan umat Kristiani. Terlepas dari
provokator dan lain sebagainya yang biasa menjadi kambing hitam dalam setiap”chaos”,
yang jelas umat beragama belum mempunyai kontrol emosi yang memadai sehingga
begitu mudah terpancing untuk melakukan berbagai macam tindakan anarki.
Sentimen keagamaan dan fanatisme membuat paling
tidak banyak memberi andil atas terciptanya setiap adegan kerusuhan dan
terjadinya konflik. Menurut C. Syamsul Hari, bahwa konflik yang mengatasnamakan
agama pada umumnya disebabkan oleh penyimpangan arah proses sosial yang
berkolerasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi sosial antar umat
beragama.
Dari fenomena-fenomena tersebut setidaknya dapat
dijadikan fonis awal bahwa sampai saat ini, kesadaran pluralitas dalam beragama
belum menyentuh sisi kesadaran paing dalam pada diri para pemeluk agama.
Artinya, slogan-slogan bahwa agama mengajarkan cinta kasih dan perdamaian,
tidak menyukai tindakan kejahatan dalam bentuk apapun hanyalah omong kosong.
Di sinilah paling tidak, perlu diperhatikan kembali
tentang peran pendidikan Agama Islam bagi umat Islam itu sendiri. Islam sebagai
“rohmatan lil ‘alamin” sudah dapatkah itu diwujudkan, karena posisi umat
Islam sebagai mayoritas disatu sisi sangatlah tidak menguntungkan. Ironisnya ternyata
umat Islam dapat dikatakan hampir banyak ikut serta dalam setiap aksi
kerusuhan. Mengapa bisa terjadi demikian ? tentunya ada yang salah, “there
is something wrong”. Atau bisa jadi pendidikan Islam belum mampu mendidik
umatnya menjadi kaum pluralis ? ini perlu dikaji kembali sebagai upaya
perbaikan mutu pendidikan Islam itu sendiri.
Kebanggaan sebagai umat yang terbaik “khoira
ummah” jangan hendakanya melenakan umat Islam dari berbuat kebajikan yang
nyata. Lagi pula kebanggaan semacam itu hanyalah akan menjadi beban berat yang
mesti dipikul dan akan menjadi bahan tertawaan bila tidak dapat merealisasikan
dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari sesuai predikat yang disandang.
Dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an M. Quraish
Shihab menyatakan: “Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan
juta kaum muslim seluruh dunia, merupakan “way of life” yang menjamin
kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan akherat kelak. Ia mempunyai satu sendi
utama yang esensial; berfungsi memberi prtunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya”.
Petunjuk ke jalan yang baik (sirathal mustaqim) itu terangkum dalam
Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat Islam. Umat Islam dituntut untuk
mempelajari ajarannya untuk kemudia diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (M.
Quraish Shihab, 1995 : 33).
Menanggapi “image-image” yang miring
tentang Islam sebagai agama kaum teroris, yang gemar berbuat onar dan
kerusuhan, hendaklah merujuk kembali ke Al-Qur’an untuk mendapatkan ketenangan
yang lebih otentik. Tentang konsep penghargaan terhadap agama lain di satu sisi
misalnya dan konsep berijtihad memerangi kaum beragama lain di sisi yang lain,
harus benar-benar didudukkan sesuai porsinya masing-masing. Ini sangat penting,
bukan hanya bagi orang lain di luar Islam, namun bagi orang Islam sendiri agar
pemahaman terhadap “ruh” Al-Qur’an benar-benar dapat dibanggakan. Pendidikan
Islam dalam hal ini belum dapat merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Kalau
boleh dikatakan ini merupakan salah atau bentuk kegagalan pendidikan Islam.