Selasa, 22 Februari 2022

Bertemu Kenangan

 Assalamualaikum Wr.Wb.

Sahabat, setelah sekian lama berlalu saya membuat blog ini dan sekarang tepatnya tahun 2022 saya baru menemukan kembali blog saya yang mati suri.

Semoga kita selalu diberikan kesehatan dimasa pandemi seperti ini.

Rindu rasanya, mengenang masa-masa dimana saya masih menjadi mahasiswa.


Sabtu, 24 November 2012

CERITA TENTEANG CERITA (Puisi)

Pesonamu membakar hasrat
tertegun dalam bening
jasad bertumpu pada kemaluan
menuang secawan kautsar
Indahmu memberi hangat
menyentuh syahdu dikeramain fatamorgana
lalu turunlah hujan...
kucurkan pedih dari tangis sang pendosa
perlahan kebali membawa sunyi
tatkala kau bawa Cinta jauh dalam Nista.
Ini tentang ku,,,
cakrawala yang ku robek dengan nafasku
hapuskan kisah abadi yang tertulis sang pencipta
merangkul hidup dalam kegelisahan tiada henti
namun apakah hakikat yang ku jalani mampu
menembus ruang dan waktu
mencakar hidup dalam nista
ah,,,
lelah aku setelah menempuh jalan yang teramat panjang ini
namun aku sekarang adalah aku
yang telah sirna di telan kekosongan
dan kau DEWI ku
hanya tersenyum dipangkuan sang pemenang
aku termangu,,,
lalu ku tebas akhir semua dengan menggambar tubuhku
dalam kekosongan
dalam kesesatan
apakah ini akhir dari sentuhan klimaks hidup?
bukan...jiwa ku menjawab dengan lantang!
dan aku sadar aku masih punya sang Putri untuk ku semai
di ladang harapan.

Asal Mula Agama

Dalam Watch Tower Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung bahwa:
“Sejarah agama itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri. Demikianlah yang dikatakan oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita. Bahkan dalam peradaban yang paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang, ditemukan bukti peribadatan dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak religius.”[1]

Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana semua agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang berminat mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman hidup bagi manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka. Aturan itu kesepakatan  yang harus ditaati seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua pihak. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogkan hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.[2]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yangakan memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan hati-hati (lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam pengaturan di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama” (berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di luar dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[3]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa lambat lain apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri agama-agama besar, perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari agama. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa dalam kebanyakan kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama yang sudah ada, meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi” sebagai sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang sudah ada yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [4]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana. Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”. [5]

Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [6]

Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata bertaubat Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat taubat, jadi agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan makhluk-Nya. Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Artinya:
“Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [7]

Apa yang diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu bahwa selama ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan hal-hal rohani. Manusia hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan pertanyaan-pertanyaannya, termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan religius diungkapkan dalam banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah atau Tuhan-Tuhan mereka, memohonkan berkat dan penghiburan


[1]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[2]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 211.
[3]Ibid.
[4]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[5] Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[6] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[7] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag,  Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15

Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama

Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat berguna.

Jumat, 23 November 2012

PLURALISME DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Al-Quranul karim adalah mu’jizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah, Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang terang (Mudzakir, 2007: 1).
Agama sebagai realitas sosial di dalamnya tidak hanya terkandung aspek ajaran yang bersifat normative-doktrinal, melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya. Dengan demikian, jika terjadi konflik antar agama, terdapat variabel yang terlibat, yang satu ikut memperkuat yang lain meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah. Yaitu doktrin agama untuk saling menghormati sesama manusia dan misi setiap agama untuk menegakan kedamaian.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada akhir-akhir ini di berbagai daerah di Indonesia, seperti kasus Situbondo (1998), Madura, dan yang sampai saat ini masih terus berjegolak seperti kasus Ambon dan lainnya, pada dasarnya merupakan akibat dari konflik anatar agama yang berbeda. Masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan pihak lain salah. Perpsepsi bahwa perbedaan adalah suatu yang buruk, suatu hal yang menakutkan, sudah begitu rupa mendarah daging dalam jiwa umat-umat beragama.
Akibat dari perseteruan tersebut adalah kesengsaraan semua pihak, yang bertikai maupun yang tidak mengetahui apa-apa. Pada dasarnya akibat dari konflik adalah kerugian yang menyeluruh diberbagai pihak. Rakyat kecil   lagi-lagi menjadi korban dan harus menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.
Akibat dari adanya perseteruan ataupun kerusuhan di suatu daerah pada akhirnya merambat ke daerah yang lain, yang masih satu wilayah maupun diluar wilayah yang berbeda. Memanasnya kondisi di suatu daerah, seperti adanya konflik antar agama dapat memancing daerah lain dikarenakan adanya ikatan emosional yang begitu kuat, ikatan sebagai saudara seiman. Hal serupa pernah terjadi di daerah Mataram, Lombok (Februari 2000) saat umat Islam melakukan tablig akbar untuk mensikapi kondisi umat Islam di Ambon yang berakhir dengan kerusuhan berupa pengrusakan tempat-tempat ibadah dan sarana pendidikan umat Kristiani. Terlepas dari provokator dan lain sebagainya yang biasa menjadi kambing hitam dalam setiap”chaos”, yang jelas umat beragama belum mempunyai kontrol emosi yang memadai sehingga begitu mudah terpancing untuk melakukan berbagai macam tindakan anarki.
Sentimen keagamaan dan fanatisme membuat paling tidak banyak memberi andil atas terciptanya setiap adegan kerusuhan dan terjadinya konflik. Menurut C. Syamsul Hari, bahwa konflik yang mengatasnamakan agama pada umumnya disebabkan oleh penyimpangan arah proses sosial yang berkolerasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi sosial antar umat beragama.
Dari fenomena-fenomena tersebut setidaknya dapat dijadikan fonis awal bahwa sampai saat ini, kesadaran pluralitas dalam beragama belum menyentuh sisi kesadaran paing dalam pada diri para pemeluk agama. Artinya, slogan-slogan bahwa agama mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, tidak menyukai tindakan kejahatan dalam bentuk apapun hanyalah omong kosong.
Di sinilah paling tidak, perlu diperhatikan kembali tentang peran pendidikan Agama Islam bagi umat Islam itu sendiri. Islam sebagai “rohmatan lil ‘alamin” sudah dapatkah itu diwujudkan, karena posisi umat Islam sebagai mayoritas disatu sisi sangatlah tidak menguntungkan. Ironisnya ternyata umat Islam dapat dikatakan hampir banyak ikut serta dalam setiap aksi kerusuhan. Mengapa bisa terjadi demikian ? tentunya ada yang salah, “there is something wrong”. Atau bisa jadi pendidikan Islam belum mampu mendidik umatnya menjadi kaum pluralis ? ini perlu dikaji kembali sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan Islam itu sendiri.
Kebanggaan sebagai umat yang terbaik “khoira ummah” jangan hendakanya melenakan umat Islam dari berbuat kebajikan yang nyata. Lagi pula kebanggaan semacam itu hanyalah akan menjadi beban berat yang mesti dipikul dan akan menjadi bahan tertawaan bila tidak dapat merealisasikan dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari sesuai predikat yang disandang.
Dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an M. Quraish Shihab menyatakan: “Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslim seluruh dunia, merupakan “way of life” yang menjamin kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan akherat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial; berfungsi memberi prtunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya”. Petunjuk ke jalan yang baik (sirathal mustaqim) itu terangkum dalam Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat Islam. Umat Islam dituntut untuk mempelajari ajarannya untuk kemudia diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (M. Quraish Shihab, 1995 : 33).
Menanggapi “image-image” yang miring tentang Islam sebagai agama kaum teroris, yang gemar berbuat onar dan kerusuhan, hendaklah merujuk kembali ke Al-Qur’an untuk mendapatkan ketenangan yang lebih otentik. Tentang konsep penghargaan terhadap agama lain di satu sisi misalnya dan konsep berijtihad memerangi kaum beragama lain di sisi yang lain, harus benar-benar didudukkan sesuai porsinya masing-masing. Ini sangat penting, bukan hanya bagi orang lain di luar Islam, namun bagi orang Islam sendiri agar pemahaman terhadap “ruh” Al-Qur’an benar-benar dapat dibanggakan. Pendidikan Islam dalam hal ini belum dapat merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dikatakan ini merupakan salah atau bentuk kegagalan pendidikan Islam.